Bengkulu, investigasi. news – Perkembangan teknologi internet telah melahirkan sebuah masyarakat baru yang disebut sebagai masyarakat berjejaring yang melakukan interkasi sosial secara maya. Seperti juga dalam interaksi sosial tanpa media, dalam interaksi maya terdapat perilaku menyimpang dari peserta interaksi. Salah satunya adalah penipuan dalam interaksi melalui media sosial.
Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penipuan online melalui media sosial dan aplikasi percakapan seperti WhatsApp, Twitter, dan instagram diperkirakan akan marak pada tahun 2024. Survei ini dilakukan dengan melibatkan 8.720 responden di 38 provinsi Indonesia.
Penipuan online sudah diatur dalam dasar hukum pada pasal 378 KUHP dan termuat dalam pasal 492 dan 493 RKUHP. Pelaku penipuan online dapat dijerat melalui pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45a ayat 1 UU No. 19 tahun 2016. Walaupun sudah adanya regulasi yang mengatur tentang tindak penipuan media online masih banyak kasus yang terjadi di masyarakat hingga hari ini. Padahal kehadiran Lembaga ini sanggat penting untuk memastikan tidak ada akun-akun penipuan di media social yang dapat merugikan siapapun.
Banyak penipuan yang terjadi di media social contohnya penipuan barang jastip korea, yang dimana tidak lepas dari budaya korea yang menyebar di dunia terkhususnya Indonesia membuat para penggemar korea berbondong-bondong untuk mengoleksi barang-barang korea seperti baju, makeup, barang K-Pop, bahkan makanan. Dengan adanya pasar tersebut membuat orang jahat tidak akan melepas kesempatan untuk melakukan penipuan.
Rata-rata dalam setiap kasus penipuan di media social ini banyak korban yang tidak berani melaporkan ke pihak berwajib di karenakan proses yang lama dan tidak sedikit oknum penegak hukum yang meminta dana tambahan agar kasus penipuan ini dapat di proses. Salah satu alasan masi maraknya aksi penipuan ini juga di sebabkan oleh faktor tidak sedikitnya penipu-penipu media social tidak tertangkap dikarenakan banyak yang menggunakan akun palsu bahkan membeli akun dari orang lain. Orang yang menjadi korban penipuan media social tidak sedikit juga terkena dampak seperti hujatan dari orang sekitar yang mengata-ngatin mereka yang bodoh sehingga wajar kena tipu.
Mawar (nama samaran), warga Kota Bengkulu, menjadi korban penipuan jasa titip (jastip) Korea melalui media sosial. Awalnya, Mawar menemukan akun jastip di Twitter yang kemudian berlanjut ke WhatsApp. Penipu mengiming-imingi harga murah dan hadiah jika Mawar berhasil mengajak orang lain ikut memesan. Tertarik, Mawar mengumpulkan sejumlah orang hingga terkumpul dana Rp35 juta, yang kemudian ditransfer ke akun penipu melalui Shopee. Namun, setelah uang dikirim, pihak jastip menghilang tanpa kabar, sementara barang yang dijanjikan tak pernah tiba. Akibatnya, Mawar turut dianggap sebagai penipu oleh para korban lain karena menjadi perantara dalam transaksi ini.
Dari kasus tersebut kita harus waspada terhadap penipuan apapun terkhususnya di media social yang belum tentu akun tersebut merupakan akun pribadi. Ada cbebrapa cara untuk menghindari menjadi korban penipuan di media social dan cara mengidentivikasi akun palsu yaitu:
1. Selalu Verifikasi Identitas Penjual atau Akun (Cek Informasi Profil seperti foto profil dan detail profil, lihat jumlah pengikut, postingan Akun palsu sering memposting konten yang tidak relevan, spam, atau memiliki pola posting yang tidak wajar, seperti terlalu banyak dalam waktu singkat).
2. Hindari Tawaran yang Terlalu Bagus untuk Jadi Nyata
3. Gunakan Metode Pembayaran Aman
4. Periksa Detail Transaksi dengan Teliti
Dalam kasus ini kita di tuntut lebih pintar dari pada penipu dan juga kita harus lebih berhati-hati dalam menggunakan media social. Karena kejahatan tidak memandang siapa anda dari mana asal anda dan status ekonomi anda.
PENULIS : HELSA HIDAYATI NIRWANA, MAHASISWA MAGISTER ILMU KOMUNIKASI, UNIVERSITAS BENGKULU