Bengkulu, investigasi.news – Peta jalan transisi energi yang telah disusun dan dijalankan oleh pemerintah Indonesia dinilai belum mampu menjawab persoalan krisis iklim.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema “Krisis Iklim VS Peta Jalan Transisi Energi” yang digelar Kanopi Hijau Indonesia pada 27 Mei 2025. Diskusi ini menghadirkan menghadirkan narasumber nasional yaitu, Catharine K. Wijaya perwakilan dari Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Novita Indri Pratiwi dari Trend Asia, dan Raditya Yudha W dari Institute for Essential Service Reform (IESR) yang memiliki pemahaman bagaimana perdebatan yang ada pada level nasional dalam menjalankan proyek transisi energi di Indonesia.
Dalam pemaparannya Catharine K Wijaya menjelaskan bahwa JETP Indonesia dibentuk untuk melakukan pembiayaan transisi energi diketahui hingga saat ini sebanyak USD 19,6 miliar dana telah dijanjikan untuk JETP Indonesia. Ada 6 fokus area investasi (IFA) termasuk didalamnya ada pembangunan geothermal.
Perwakilan Trend Asia, Novita Indri Pratiwi mengatakan bahwa peta jalan transisi energi di Indonesia hingga saat ini masih belum sepenuhnya tegas baik itu dalam segi kebijakan maupun pendanaan. Sebab, kebijakan yang dibuat dalam memilih energi prioritas yang berkeadilan dan bersih dan pilihan teknologi belum memiliki mitigasi.
“Seperti penggunaan bioenergi yang merupakan solusi palsu transisi energi karena akan memicu deforestasi atau pembabatan hutan. Lalu dałam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga masih mengakomodir batubara dan gas yang masih dipakai hingga tahun 2060 walapun dalam proyeksi KEN penggunaannya akan menurun,” kata Novita.
Ia mempertanyakan penggunaan energi fosil dalam peta jalan transisi energi mengingat produksi energi terbarukan sudah jauh lebih mudah dan harganya jauh lebih murah. Ia juga menyoroti emisi karbon yang akan dihasilkan dari penggunaan energi kotor atau fosil dalam kurun waktu 2025 hingga 2060 yang dianggap akan memperparah krisis iklim.
Perwakilan IESR, Raditya Yudha W mengatakan bahwa pada 2060 Indonesia menargetkan mencapai Net Zero Emission (NZE) di mana dua dokumen telah dirancang untuk menurunkan emisi tetapi hal tersebut belum memperlihatkan upaya yang selaras dengan upaya global.
Ia menilai terdapat beberapa tantangan dalam transisi energi di Indonesia antara lain insfrastruktur fisik, kerangka kebijakan, dan perekonomian.
“Kritik terhadap subsidi dan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat miskin justru mendorong konsumsi bahan bakar yang seharusnya dialihkan untuk penggunaan energi yang lebih bersih,” kata Raditya,
Seminar ini ditujukan untuk mengetahui seperti apa potret transisi energi yang sekarang ini sedang dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan sementara dampak dari krisis iklim telah dirasakan oleh masyarakat di Pullau Sumatera terutama di Pantai Barat yang mengalami laju abrasi pantai, kerusakan muara sungai, hingga pendangkalan pelabuhan.
Belum lagi aktivitas seluruh PLTU batubara selain berkontribusi nyata terhadap krisis iklim juga memberikan dampak buruk pada warga yang tinggal di sekitar pembangkit mulai dari dampak kesehatan, ekonomi dan sosial.
Seminar ini akan menjadi bahan bacaan dalam rangka menjalankan kampanye melawan krisis iklim salah satunya dengan memperketat operasionalisasi PLTU batubara Teluk Sepang Bengkulu secara khusus sehingga mampu menekan emisi yang ditimbulkan.
Pengetatan yang dimaksud adalah memastikan kewajiban lingkungan korporasi dilaksanakan sesuai dengan kaidah lingkungan yg telah ditetapkan. Tidak dibenarkan ketika PLTU batubara beroperasi menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bermuara pada jatuhnya korban.
Konsolidator STuEB M. Ali Akbar mengatakan bahwa belum ditemukan korelasi yang signifikan antara upaya melawan krisis iklim salah satu caranya menekan emisi karbon, dengan agenda dan juga skema pembiayaan dari JETP. Hal ini dibuktikanktikan dengan agenda JETP masih mendukung penggunaan energi fossil batubara.
“Agenda yang sedang kita lakukan untuk menurunkan emisi karbon adalah dengan cara memperketat operasionalisasi PLTU batubara yang ada di Sumatera secara umum dan PLTU batubara Teluk Sepang, Bengkulu secara spesifik untuk memastikan bahwa kewajiban lingkungan korporasi dilaksanakan secara benar,” katanya.
Seharusnya kata Ali hal ini juga menjadi agenda JETP, mengingat hingga saat ini operasionalisasi PLTU batubara terus menerus menimbulkan dampak buruk bagi manusia dan lingkungan.
“Hasil seminar ini akan menjadi landasan diskusi selanjutnya dalam rangka memastikan korporasi pembangkitan energi kotor bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan,” kata Ali.