Masa Depan Energi Terbarukan di Bengkulu, Hidup Segan Mati Tak Mau

More articles

Bengkulu, Bengkulu,investigasi – Transisi energi setengah hati tergambar dari kondisi pembangkit energi terbarukan di Provinsi Bengkulu yang saat ini hampir mati, padahal pernah menjadi tumpuan utama untuk pemenuhan energi di wilayah ini.

Dua pembangkit listrik tenaga air di wilayah Provinsi Bengkulu yaitu PLTA Musi dan PLTA Tes pernah menjadi tulang punggung energi di Bengkulu bahkan wilayah Sumatera bagian Selatan, namun saat ini hanya menjadi penopang atau energi alternatif.

Selain dua PLTA, ada empat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dibangun di empat wilayah di Bengkulu namun hanya beroperasi satu hingga dua tahun kemudian mati dan terbengkalai tidak bermanfaat.

Padahal transiti energi menjadi salah satu agenda global untuk memerangi krisis iklim untuk memastikan kehidupan di planet bumi dapat berlangsung baik.

Kondisi ini dipotret oleh Kanopi Hijau Indonesia dalam riset partisipatif dan penulisan buku berjudul “Analisis Ancaman Keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Provinsi Bengkulu” yang diluncurkan, Selasa 25 Maret 2025.

Buku ini memberikan gambaran tentang tantangan transisi energi dan realita yang ditemukan bahwa PLTA Tes di Kabupaten Lebong dan PLTA Musi di Kabupaten Kepahiang tidak lagi menjadi prioritas pemerintah sejak dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, Teluk Sepang.

Baca Juga :  PKH Bengkulu Salurkan Rp45,89 Miliar untuk 91 Ribu Keluarga di Triwulan Akhir 2024

Sedangkan PLTS yang terdapat di Sumber Makmur dan Gajah Makmur, Kabupaten Mukomuko dan PLTS yang berada di Banjar Sari dan Kahyapu, Enggano, Bengkulu Utara sudah tidak lagi beroperasi akibat minimnya pengetahuan dalam mengoperasikan pembangkit listrik ini.

Keberadaan PLTA Musi dengan daya 210 MW dan PLTA Tes dengan daya 23,2 MW mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bengkulu dan wilayah Sumatera bagian Selatan.

Sementara keberadaan PLTS di Desa Sumber Makmur Kabupaten Mukomuko mampu menerangi 50 rumah, PLTS Gajah Makmur mampu menerangi 250 rumah, sedangkan PLTS Banjar Sari dan PLTS Kahyapu di Pulau Enggano, masing-masing mampu menerangi 200 dan 221 rumah warga.

Namun, pembangkit-pembangkit energi terbarukan ini terancam keberlanjutannya seperti tidak beroperasinya secara optimal PLTA Musi dan PLTA Tes akibat merosotnya kualitas tutupan hutan untuk menjamin ketersediaan air bagi PLTA tersebut.

Lalu keempat PLTS yang ada di Kabupaten Mukomuko dan Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara tidak lagi beroperasi karena kondisinya sudah rusak dan terbengkalai karena ketidakmampuan komunitas untuk memperbaiki kerusakan.

“Peluncuran buku ini sebagai media untuk menyebarluaskan mengenai informasi yang berbasis pada penelitian ilmiah, membangun kesadaran publik, serta memperkuat kampanye dan advokasi transisi energi yang seharusnya berbasis komunitas, bukan terpusat,” kata Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar.

Baca Juga :  Provinsi Bengkulu Alami Deflasi Sebesar 0,57 Persen pada Februari 2025

Ia mengatakan diskusi dan peluncuran buku yang mengundang berbagai elemen mulai dări masyarakat, media massa, mahasiswa, perwakilan pemerintah, lembaga non-pemerintah dan masyarakat terdampak energi fosil ini juga untuk mendapat masukan dan pandangan tentang pengembangan energi terbarukan dan cara mempercepat transigí energi berkelanjutan.

Adityo Ramadhan dari Universitas Bengkulu sebagai salah satu pengulas mengatakan bahwa buku ini berhasil memunculkan ide utama tentang ancaman keberlanjutan energi terbarukan bertenaga air yaitu PLTA Musi dan PLTA Tes akibat alih fungsi kawasan hutan.

“Begitu juga ide utama dari ancaman keberlanjutan PLTS di empat titik juga sangat jelas digambarkan dalam buku ini, terutama karena masalah transfer pengetahuan pengelolaan PLTS yang tidak terjadi, jadi PLTS hanya dibangun lalu diserahkan kepada masyarakat dan saat rusak tidak tahu cara memperbaiki,” katanya.

Ia mengharapkan isi buku ini dapat disusun menjadi “policy brief” atau dokumen ringkas yang ditujukan bagi pemangku kebijakan sebagai panduan dalam mengelola dan mengembangkan energi terbarukan dan mempercepat transisi energi berkeadilan.

Baca Juga :  Dikbud Provinsi Bengkulu Pastikan Tunjangan Guru Segera Cair

Pengulas buku lainnya, Direktur Yayasan Indonesia Cerah, Agung Budiono mengatakan temuan Kanopi Hijau Indonesia dalam riset yang disusun menjadi buku ini menggambarkan bahwa pengembangan energi terbarukan sangat penting didorong berbasis masyarakat, bukan berbasis proyek terpusat.

“PLTS yang terbengkalai ini seharusnya bisa direvitalisasi dan dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat sekaligus menjadi pelajaran sangat berharga untuk tidak lagi berbasis proyek terpusat yang berrjung tak bermanfaat,” katanya.

Kepala SMA Muhammadiyah 4 Kota Bengkulu Sutanpri mengatakan dalam mendukung transisi energi, sekolahnya menginisiasi kelas mandiri energi untuk memberikan pengetahuan tentang energi terbarukan dan krisis iklim.

“Saya tidak membayangkan pembangkit energi terbarukan ini dalam skala besar, tapi dalam skala masyarakat, yang bisa mandiri energi dari rumah sendiri,” katanya.

Warga Desa Kahyapu Pulau Enggano, Siswandi mengatakan setelah PLTS terpusat yang ada di desanya rusak, masyarakat menggunakan pembangkit listrik berbahan minyak solar yang didatangkan menggunakan kapal dari Bengkulu di mana penyaluran bahan bakar ini sangat bergantung pada kondisi cuaca.

Ia berharap PLTS di Desa Kahyapu yang dibangun tahun 2015 senilai lebih Rp4 miliar ini direvitalisasi dan dapat dimanfaatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat.

“Apalagi kami sangat membutuhkan listrik untuk mendukung kegiatan perekonomian, terutama para nelayan di Pulau Enggano sangat membutuhkan es untuk hasil perikanan,” katanya. (Indah)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest